Kasus Overstay Hingga Tak Mampu Tunjukkan Dokumen Perjalanan, 4 Pria Nigeria Dideportasi Rudenim Denpasar

 


BADUNG – (17/10/2024) Rudenim Denpasar dibawah kepemimpinan Menkumham RI Supratman Andi Agtas ini kembali mendeportasi 4 orang WNA yang seluruhnya berkewarganegaraan Nigeria di Bali, yakni AMC (40), MKA (39), GCC (29), AKV (23) karena melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. 


Dalam kasus yang berbeda beda ini, beberapa ketentuan yang dilanggar diantaranya Pasal 75 ayat (1) serta Pasal 78 ayat (3). Dalam ketentuan Pasal 75 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian menyebutkan bahwa Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap Orang  Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi dan Penangkalan. 


Kasus AMC

Pria kelahiran tahun 1984 ini tiba di Indonesia pada 24 Mei 2018 melalui Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Tak lama setelah ia tiba di Jakarta, ia berpindah ke Bali.  Selama berada di Bali, ia tinggal di Perumahan Pondok Tegal Belong, Denpasar, Bali.


Pada 29 Mei 2024, AMC ditangkap oleh petugas Imigrasi di Denpasar karena tidak dapat menunjukkan dokumen keimigrasian saat pemeriksaan. Ia dikenai sanksi pidana kurungan selama satu bulan dan telah dibebaskan dari Lapas Kelas II A Kerobokan pada 14 September 2024. Berdasarkan pelanggaran keimigrasian ini, AMC melanggar Pasal 75 ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Dari pelanggaran tersebut, pihak Imigrasi Denpasar menetapkan Tindakan Administrasi Keimigrasian dalam bentuk pendeportasian dan mengusulkannya ke dalam daftar penangkalan. Karena pendeportasian tidak dapat dilaksanakan pada kesempatan pertama,  AMC dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi Denpasar pada 14 September 2024 sambil menunggu proses pendeportasiannya.


Kasus GCC

Pria kelahiran  1995 ini  tiba di Indonesia pada 13 Juni 2021 melalui Bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan telah melebihi masa izin tinggalnya. Pada 29 Mei 2024, petugas Imigrasi menemukan GCC di sebuah kos di Denpasar Barat tanpa paspor atau dokumen keimigrasian yang sah. Akibat pelanggaran tersebut, GCC dikenakan hukuman pidana kurungan selama satu bulan dan telah dibebaskan dari Lapas Kelas II A Kerobokan pada 14 September 2024.


Setelah pembebasannya, GCC diserahkan ke Kantor Imigrasi Ngurah Rai, dan berdasarkan Pasal 75 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, GCC dikenai tindakan administratif berupa pendeportasian, dan namanya diusulkan masuk dalam daftar penangkalan. Namun karena pendeportasian tidak dapat dilaksanakan pada kesempatan pertama,  GCC dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi Denpasar pada 14 September 2024 sambil menunggu proses pendeportasiannya.


Kasus MKA

MKA telah tinggal di Indonesia sejak 2023 dengan izin tinggal kunjungan. Pertama kali tiba di Indonesia ia bertujuan untuk berbisnis dengan membeli pakaian anak-anak di Jakarta dan Surabaya untuk dikirim ke Nigeria. Pada sebuah giat pengawasan Keimigrasian pada awal Agustus 2024, kediaman MKA didatangi petugas, namun  pada proses pemeriksaan, ia tidak dapat memperlihatkan paspor yang ia yakini telah ia simpan dalam sebuah tas miliknya. Dalam hal pengurusan perpanjangan izin tinggalnya, dirinya mengaku menggunakan jasa agen visa bernama M yang diketahui telah meninggal dunia setahun yang lalu. Terkait pelanggaran ini, MKA dijerat Pasal 75 ayat (1) UU Keimigrasian setelah dianggap tidak menaati peraturan yang berlaku karena tidak mampu memperlihatkan dan menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian seperti yang tertera pada pasal 71 UU nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian.


Karena pendeportasian tidak dapat dilaksanakan pada kesempatan pertama,  MKA dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi Denpasar pada 6 September 2024 sambil menunggu proses pendeportasiannya.


Kasus AKV

AKV memasuki Indonesia pada Juni 2021 menggunakan Visa On Arrival untuk berlibur. Di Indonesia, Ia memilih tinggal di jakarta tepatnya di sebuah apartemen di Jl. Jenderal Ahmad Yani, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Namun beberapa waktu ia tinggal, dirinya tidak menyadari bahwa izin tinggalnya telah habis dan melebihi batas 60 hari yang ditentukan. Hal tersebut menjadi permasalahan bagi dirinya ketika Pihak Imigrasi Jakarta Pusat melaksanakan Kegiatan Pengawasan Keimigrasian Rutin di wilayah kediamannya, dan dirinya terjaring dalam kegiatan pengawasan tersebut. Pada 11 April 2023, Imigrasi Jakarta Pusat melakukan pendetensian terhadap AKV, dan dalam pemeriksaan lanjutan, AKV ditetapkan melanggar Pasal 78 ayat (3) UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.


Berdasarkan Pasal 78 ayat (3) UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam Wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu Izin Tinggal dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi dan Penangkalan. yang bersangkutan dikenai tindakan administratif berupa deportasi. Namun karena pendeportasian tidak dapat dilaksanakan pada kesempatan pertama, setelah mendekam di Ruang Detensi Kantor Imigrasi Jakarta Pusat selama lebih dari beberapa bulan, AKV dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi Denpasar pada 31 Agustus 2023 sambil menunggu proses pendeportasiannya.


Plh. Kepala Rumah detensi Imigrasi Denpasar, Raden Fajar Jaya Wicaksono menerangkan setelah dengan adanya upaya ekstra jajarannya dalam mengusahakan pendeportasian ke empat WN Nigeria tersebut, akhirnya AMC, MKA, GCC, serta AKV dapat dideportasi ke Negaranya. Mereka dideportasi melalui bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 17 Oktober 2024 dengan tujuan akhir Lagos, Nigeria dengan dikawal oleh petugas Rudenim Denpasar. “AMC, MKA, GCC, serta AKV yang telah dideportasi telah diusulkan dalam daftar penangkalan ke Direktorat Jenderal Imigrasi” ujarnya.


Kakanwil Kemenkumham Bali, Pramella Yunidar Pasaribu, menanggapi kasus ini dengan menegaskan bahwa pihaknya akan terus memperkuat pengawasan terhadap warga negara asing di Bali. "Kami berkomitmen untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Bali, khususnya dalam kaitannya dengan aktivitas warga negara asing. Setiap pelanggaran yang mengancam keamanan atau ketertiban umum akan kami tindak tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," ujar Pramella. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Kanwil Kemenkumham Bali akan terus melakukan operasi pengawasan secara rutin, bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, untuk mencegah pelanggaran keimigrasian.


“Sesuai Pasal 102 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, penangkalan dapat dilakukan paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan dan selain itu penangkalan seumur hidup juga dapat dikenakan terhadap Orang Asing yang dianggap dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Namun demikian keputusan penangkalan lebih lanjut akan diputuskan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh kasusnya” tutup Dudy. (DNG/RZA)

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama